Dengan rasa
kepercayaan diri yang cukup tinggi dan modal nekad, ijinkanlah saya
memperkenalkan diri saya. Namaku Fudhail Satria Perdana. Orang memanggilku
“Satria.” Mungkin aku bukan siapa-siapa. Dengan bermodal nekad ingin terkenal,
maka saya memberanikan diri menulis buku biografi ini, supaya anda juga tahu sebagai
rakyat Indonesia, saya punya hak untuk mengungkapkan pendapat secara bebas. Bahkan
untuk menulis perjalanan hidup saya sekalipun, saya bebas untuk bercerita.
Dibaca syukur, tidak dibaca? Guling-guling, atau nyekar ke kuburan embah minta
didoain? Tidak lah yaw! Aku masih normal. Kesabaranku masih cukup luar biasa.
Maksudnya luar biasa panjangnya hingga tak berujung. Pokoknya di dalam UUD 1945
disebutkan bahwa setiap warga negara bebas mengemukakan pendapatnya baik lisan
maupun tulisan.
Eits! Tunggu
dulu. Jangan tutup buku ini. Duduk dulu di sini. Lanjutkan baca buku ini atau
anda akan menyesal seumur hidup tidak mengenal saya. Ceritanya begini, aku,
Satria, anak kemaren sore yang lahir pas tanggal 28 Oktober 1995, tepat hari
Sumpah Pemuda. Bayangkan, ketika orang-orang sudah bersiap-siap dengan baju
‘Pohon Beringin’ alias baju seragam KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia)
untuk mengikuti upacara bendera di pagi harinya sebagai pembuktian betapa jiwa
nasionalisme yang tinggi dari para pegawai itu, sebaliknya mamaku harus
berjuang keras untuk mengeluarkan aku yang tidak ke luar-luar juga dari
perutnya sejak ketuban pecah di tanggal 27 Oktober pagi, tepatnya ketika
mamaku, ‘mamah Linda’ sedang melakukan ritual kesehatannya sebagai seorang ibu
hamil, yaitu melakukan jalan pagi. Kata dokter sih, biar persalinannya lancar
dan tidak terlalu sulit.
Sebenarnya sih,
kelahiranku itu lebih cepat sebulan dari perkiraan dokter. Umur kandungan
mamaku masih sekitar 8 bulanan. Kemudian dianjurkan oleh dokter di rumah sakit
untuk melakukan senam hamil. Sebagai seorang ibu yang baru pertama kali hamil,
tentu saja akan selalu menurut apa yang dikatakan dokter. Jangankan senam
hamil, kalau disuruh jalan pagi pun setiap hari, pasti akan diikuti, walaupun
mamaku tidak pernah mau berolah raga pagi ketika belum hamil. Begitulah orang
tua, karena keinginan mereka yang terlalu besar untuk mendapatkan buah hatinya,
apa pun diikuti. Mungkin kalau disuruh jalan pagi dari Jakarta sampai Bandung,
pasti mama akan melakukannya juga. He…he.
Oh iya, Aku
berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Aku tinggal di Jakarta Barat.
Mungkin kalau di dunia, Jakarta ini bukanlah tempat yang begitu dikenal kalau
belum kita sebutkan kata ‘Bali.’ Moga-moga dengan terbitnya buku kisah hidupku
ini, kota Jakarta semakin terkenal, terutama walikota Jakarta Barat. Beliau
pasti akan bangga dan berterima kasih sekali bahwa dalam masa jabatan beliau,
berhasil membuat salah satu warganya berprestasi di tingkat dunia (Insha
Allah), atau di tingkat Kelurahan juga boleh.
Kalau ada ‘bule’
(bukan isterinya pak Lek, loh) bertanya di mana Jakarta Barat, mungkin kita
harus menunjukkan di mana letak Bali dulu. Kalau bingung, boleh tanya toko
sebelah, tapi sekarang udah kebanyakan yang nanya toko sebelah, ya kita cari
pelabuhan Gilimanuk saja, di Bali. Dari Denpasar, ibukota dari provinsi Bali,
kita pergi menuju pelabuhan Gilimanuk, terus kalau di sana ada kapal Ferry,
beli karcisnya dulu, lalu naik ke kapal itu. Tapi kalau kapalnya tidak ada, ya
ditunggu dulu aja. Jangan berenang, yah. Jauh dan dalam air lautnya. Kecuali
mau uji kesaktian dan mau menjadi orang terkenal, tapi saya sarankan lebih baik anda ikut ‘Indonesian Idol’ aja
supaya bisa terkenal, dari pada harus berenang dari pelabuhan Gilimanuk
menyeberang ke pelabuhan laut Tanjung Perak.
Bila anda sudah
sampai di Surabaya, tinggal naik bis menuju ‘Batavia’ atau ‘Jakarta.’ Mohon
maaf pembaca, saya menunjukkan jalan dari Bali ke Jakarta dari sudut kaca mata
seorang ekonom yang pelit, jadi saya tidak menyarankan anda naik pesawat. Buat
apa? Hanya menunjukkan kota Jakarta saja, kita harus keliling Bali dahulu. Sekarang semua serba sulit, jangan terlalu
boros dengan sebentar-sebentar menggunakan pesawat, mentang-mentang dibayar
oleh kantor dengan dalih tugas kedinasan. Janganlah semua serba ‘aji mumpung.’
Sadarlah uang siapa yang digunakan itu. Apalagi kalau seorang pegawai negeri,
jelaslah semua menggunakan uang negara. Lebih baik kepergian yang jauh dengan
hanya alasan studi perbandingan saja dikurangi, apalagi kalau ke luar negeri.
Studi perbandingan bisa lewat televise atau berkonsultasi lewat media internet.
Itu lebih hemat ketimbang menghamburkan uang negara untuk pergi jauh dengan
alasan kedinasan. Kasihan rakyat, bapak dan ibu yang terhormat. Rakyat kita
sudah cukup menderita, tapi mereka masih menyempatkan diri mengumpulkan
sebagian penghasilan mereka yang sedikit untuk membayar pajak. Kalau sampai
dihambur-hamburkan untuk alasan tugas kedinasan ke luar negeri, rasanya hati
ini mau menangis.
Baiklah, mari
kita kembali membicarakan soal tempat yang bernama ‘Jakarta’ yang dulu disebut
‘Betawi’ atau ‘Batavia.’ Seni
pertunjukan daerah ini yang sangat khas adalah ‘Lenong.’ Lenong adalah drama komedi dari Betawi yang
sangat menarik karena sering dibawakan secara langsung di depan umum sehingga
kontak antara penonton dan pemain terjalin. Dibutuhkan kelucuan tingkat tinggi
dari para pemainnya karena terkadang ada penonton yang sangat kritis dan
mengkritik pemain apa adanya. Di sini pemain tidak boleh marah dan harus bisa
memberikan tangkisan dari semua kritikan itu alias ‘ngeles’ bahasa Betawinya.
Drama komedi ini bisa dimainkan sendiri berbentuk monolog atau lebih dari satu
orang.
Lenong ini tidak hanya bisa dibawakan oleh orang dewasa, anak kecil yang
sudah bisa bicara pun ada, namanya ‘Lenong Bocah.’ Bahkan ada juga jenis lenong
yang dibawakan oleh anak yang masih ‘piyik’ sekali, yaitu ‘Lenong Piyik.’ Untuk
‘Lenong Bocah’ dan ‘Lenong Piyik’ ini, masyarakat Betawi boleh bangga dengan
dedengkotnya yang bernama ‘Aditya Gumay.’ Dia sangat konsisten untuk
memperjuangkan drama komedi yang satu ini dengan mengajak anak asuhannya yang
tergabung dalam ‘Sanggar Ananda’ untuk memasyarakatkan ‘Lenong Bocah dan Lenong
Piyik’ ini. Aku pernah menjadi juara akting lenong bocah sebanyak 3X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar